Daftar Isi [Tampilkan]
Ilustrasi: Fatimah Az Zahra Putri Rasulullah |
Fatimah Az Zahra merupakan anak ke-4 Rasulullah sekaligus putri paling muda Rasulullah. Ia merupakan putri Rasulullah yang didapatkan dari istrinya Khadijah binti Khuwailid. Fatimah Az Zahra dinikahi oleh seorang laki-laki berakhlak mulia yang mencintai Allah dan Rasul-Nya sekaligus sepupu dari Rasulullah, seorang Khalifah Khulafaur Rasyidin ke-4, yaitu Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Fatimah dinikahi oleh Sayyidina Ali 1 tahun setelah hijrahnya Rasulullah ke kota Madinah atau masa-masa antara perang Badar dan perang Uhud. Pernikahan antara Fatimah dan Ali dikaruniai beberapa orang anak. Anak-anak mereka antara lain adalah Hasan bin Ali bin Abi Thalib, Husain bin Ali bin Abi Thalib, Zainab binti Ali bin Abi Thalib, dan Ummu Kultsum binti Ali bin Abi Thalib. Dari keturunan Fatimah lah keturunan Rasulullah berlanjut hingga saat ini. Khalifah Ali menikahi Fatimah tidak dengan harta yang banyak, melainkan hanya dengan menyerahkan sebuah baju perang, satu-satunya harta yang ia miliki. Rasulullah Muhammad SAW sangat menyayangi Fatimah, sampai-sampai Rasulullah melarang Sayyidina Ali bin Abi Thalib untuk menikah selain dengan Fatimah.
Biografi Fatimah Az Zahra
Fatimah Az Zahra dilahirkan di kota suci Mekkah pada hari Jum’at pada tanggal 20 Jumadil Akhir, lima tahun sebelum Rasulullah menerima wahyu pertama. Kelahiran Fatimah Az Zahra bertepatan dengan sebuah peristiwa hebat lainnya di kota Mekkah, yaitu ketika ayahnya, Muhammad bin Abdullah, menjadi penengah antara kaum Quraisy tentang perselisihan siapa yang berhak untuk meletakan kembali hajar aswad ke tempatnya semula. Fatimah digelari dengan Az Zahra yang memiliki arti Yang Bersinar Wajahnya Bak Bunga, karena sejak kelahirannya, ayahnya telah melihat tanda-tanda kebaikan dan keberkahan dalam diri Fatimah. Selain Az Zahra, Fatimah juga memiliki gelar Al Batul, yang merupakan gelar khusus yang diberikan kepada perempuan-perempuan yang hanya beribadah kepada Allah, hal ini karena ia memiliki banyak kemiripan dengan Maryam binti Imran.
Fatimah menjadi nama yang begitu melekat di hati Nabi Muhammad Saw. Sayyidina Ali pernah berkata “Fatimah itu dinamai Fatimah karena Allah memutusnya dan melindunginya dari api neraka”.
Pernikahan Fatimah Dengan Khalifah Ali bin Abi Thalib
Sebelum menikah dengan Ali bin Abi Thalib, Fatimah pernah dilamar oleh tiga orang sahabat Nabi, yaitu Abu Bakar Ash Shiddiq, Umar bin Al Khattab, dan Abdurrahman bin Auf. Namun, lamaran mereka bertiga ditolak secara halus oleh Rasulullah. Kemudian Ali bin Abi Thalib yang merupakan sepupu Rasulullah memberanikan diri untuk maju dan meminang Fatimah. Hal ini juga karena Ali didorong oleh para sahabat untuk meminang Fatimah. Pada suatu hari, Ali bin Abi Thalib Akhirnya memberanikan diri untuk menemui Rasulullah dengan perasaan malu ingin menikahi Fatimah. Rasulullah lalu menghampiri Fatimah dan menanyakan perihal Ali bin Abi Thalib yang hendak meminangnya. Beliau berkata kepada Fatimah “Wahai Fatimah, Ali bin Abi Thalib adalah orang yang telah kau kenali kekerabatan, keimanan, dan keutamaannya. Sesungguhnya aku telah berdoa kepada Allah agar engkau mendapat jodoh sebaik-baik makhluk-Nya, dan sekarang ia telah datang untuk menyampaikan pinangannya untukmu, jadi bagaimana pendapatmu ?”. Fatimah hanya terdiam dan tidak menjawab. Rasulullah kemudian mengangkat tangannya dan bertakbir seraya berkata “Allahu Akbar, diamnya Fatimah adalah tanda kerelaannya”. Rasulullah tampak sangat bahagia dengan pinangan Ali bin Abi Thalib terhadap putri tercintanya, Fatimah.
Rasulullah kemudian bertanya kepada Ali bin Abi Thalib mengenai mahar yang akan diberikan untuk meminang Fatimah. Rasulullah berkata kepadanya “Wahai Ali, apakah engkau memiliki sesuatu untuk menjadi mas kawinnya ?”, Ali menjawab “Semoga ayah dan ibuku menjadi tebusanmu. Demi Allah, engkau telah mengetahui apa yang aku miliki hanyalah sebilah pedang, baju perang, dan seekor unta beban pengangkut air dan aku tidak punya apa-apa lagi selain itu”. Rasulullah Saw. bersabda “Wahai Ali, adapun pedangmu, engkau memerlukannya untuk berjihad di jalan Allah untuk melawan musuh-musuh Allah, untamu engkau gunakan untuk mengairi tanaman kurmamu, mengangkut keluargamu, dan juga untuk membawa barang-barangmu ketika dalam perjalanan. Aku akan nikahkan engkau dengan putriku, Fatimah Az Zahra, dan aku merestuimu dengan baju perang sebagai mas kawinnya”.
Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Az Zahra kemudian melangsungkan pernikahan mereka pada hari Jumat, tanggal 1 Dzulhijjah tahun 2 Hijriyah. Riwayat dari kalangan Ahlul Bait mengatakan bahwa pernikahan mereka dilangsungkan setelah kembalinya kaum muslimin dari Perang Badar. Pernikahan antara Ali dengan Fatimah dikaruniai lima orang anak, tiga laki-laki dan dua perempuan. Ketiga putra mereka adalah Hasan bin Ali, Husein bin Ali, dan Muhsin bin Ali, namun Muhsin meninggal ketika masih kecil. Putri-putri mereka adalah Zainab binti Ali bin Abi Thalib dan Ummu Kultsum binti Ali bin Abi Thalib. Fatimah melahirkan putra pertamanya, Hasan bin Ali pada tanggal 15 Ramadhan tahun 3 Hijriyah. Hasan memiliki perangai yang sangat lembut, dermawan, jujur, tutur katanya baik, dan pandai bergaul, sehingga disenangi oleh banyak orang. Hasan juga sangat dekat dengan kakeknya, Muhammad Saw.
Satu tahun kemudian, pada tanggal 5 Sya’ban tahun 4 Hijriyah, Fatimah melahirkan putra keduanya, Husein bin Ali. Husein lahir ketika menjelang fajar, kelahirannya membawa kebahagiaan kepada keluarganya, Rasulullah menyambut kelahiran putra kedua beliau itu dengan wajah yang berseri-seri. Namun tiba-tiba, Rasulullah terlihat sedih, ketika ditanya penyebabnya, Rasulullah bersabda “Anak ini kelak akan dibunuh oleh golongan orang-orang yang murka”, perkataan Rasulullah itu menjadi benar setelah 56 tahun kemudian, saat Husein bin Ali terbunuh dalam peristiwa Karbala.
Keteladanan Fatimah Az Zahra
Imam Hasan bin Ali pernah berkata tentang ibunya, Fatimah, “Aku pernah melihat ibuku Fatimah Az Zahra berdiri sepanjang malam jumat, beliau senantiasa melakukan rukuk dan sujud sampai terbit fajar. Aku mendengarnya berdoa untuk kaum mukminin dengan menyebut nama-nama mereka, beliau memperbanyak doa, namun tidak berdoa untuk dirinya sendiri. Aku bertanya padanya, wahai ibuku, mengapa engkau tidak mendoakan diri sendiri sebagaimana engkau berdoa untuk kaum mukmin ?, beliau menjawab, wahai anakku, dahulukan tetangga baru rumah kita”.
Imam Hasan Al Bashri pernah berkata tentang Fatimah “Tidak seorangpun dari umat ini yang lebih banyak ibadahnya dari Fatimah, beliau beribadah sampai kedua kakinya bengkak, beliau terengah-engah dalam shalatnya karena takut kepada Allah Swt”.
Dalam suatu riwayat dikatakan, bahwa Fatimah Az Zahra, detik demi detik dan dalam kondisi apapun, Fatimah senantiasa bersama dengan Al Qur’an. Salah seorang sahabat Rasulullah, Salman Al Farisi, dalam suatu riwayat pernah menuturkan “Suatu hari aku masuk ke rumah Fatimah, dan aku melihatnya sedang menumbuk gandum sambil membaca Al Qur’an”. Rasulullah bersabda dalam haditsnya “Jika seorang wanita menunaikan shalat lima waktu, puasa di bulan ramadhan, menjaga kemaluannya, dan taat kepada suaminya, maka akan dikatakan kepadanya, masuklah ke dalam surga dari pintu manapun yang engkau mau” (HR. Ahmad).
Ketika Aisyah RA, istri Rasulullah, bertanya kepada Rasulullah tentang sebab kecintaannya yang besar terhadap putrinya, Fatimah, Rasulullah menjawab “Wahai Aisyah, jika engkau mengetahui apa yang aku ketahui tentang Fatimah, niscaya engkau akan mencintainya sebagaimana aku mencintainya. Fatimah adalah darah dagingku, ia tumpah darahku, barang siapa membencinya maka ia telah membenciku, dan barangsiapa membahagiakannya, maka ia telah membahagiakanku” (HR Bukhari).
Setelah Fatimah Az Zahra wafat, Ali bin Abi thalib pernah bercerita “Fatimah binti Rasulullah dulu sering menumbuk biji-bijian sendiri hingga membekas di telapak tangannya. Dia menenteng kendi air dengan pundak hingga tali yang dipakai membekas di lehernya. Dia juga menyapu rumah hingga pakaiannya penuh dengan debu, dia menyalakan air untuk memasak hingga wajahnya berubah dan semuanya dikerjakan sendiri dengan segala resikonya”.
Setelah menikah dengan Ali bin Abi Thalib, Fatimah hidup dengan sederhana bersama suaminya, ia bahkan tidak pernah menggunakan permata, emas, dan gaun pengantin. Peralatan rumah yang digunakan Fatimah hanyalah cangkir kulit, dua buah kendi, dan batu giling untuk melembutkan biji-bijian. Selama sembilan tahun pernikahan nya dengan Ali bin Abi Thalib, Fatimah senantiasa menjadi ibu yang baik bagi anak-anaknya, dan menjadi istri yang menyejukkan pandangan sang suami, sehingga rasa lelah Ali ketika di medan perang menjadi hilang ketika menatap wajah istrinya. Ali bin Abi Thalib pernah berkata tentangnya “Tiap kali aku memandang wajahnya, maka hilanglah semua kegundahan dan kesedihanku, demi Allah, aku tidak pernah membuat fatimah marah dan sedih dan Fatimah pun tidak pernah membuatku marah dan sedih”.
Fatimah Az Zahra merupakan perempuan yang sangat sederhana, sejak kecil dia telah dididik oleh ayahnya, Rasulullah Saw, untuk hidup sederhana dan tidak bermewah-mewahan. Setelah menikah dengan Ali bin Abi Thalib, Fatimah Az Zahra tetap hidup dalam kesederhanaan, karena Ali bin Abi Thalib bukanlah seorang pemuda yang kaya raya dengan harta berlimpah, namun hal itu bukanlah kondisi baru baginya, karena ia telah diajarkan untuk hidup sederhana oleh sang ayah.
Wafatnya Fatimah Az Zahra
Fatimah Az Zahra wafat pada malam selasa bulan Ramadhan tahun 11 Hijriyah pada saat usianya 29 tahun. Sedangkan menurut versi Syiah, Fatimah wafat pada hari senin tanggal 3 Jumadil Akhir tahun 11 Hijriyah. Jenazah Fatimah dimandikan oleh Asma binti Umais, istri dari Abu Bakar Ash Shiddiq, dan Salma Ummu Rafi, bekas budak perempuan Nabi. Jenazah Fatimah dishalati dengan diimami langsung oleh sang suami, Sayyidina Ali. Sayyidina Ali juga turun langsung ke liang lahat untuk menguburkan jenazah istri tercintanya. Kedua putri Fatimah, Zainab dan Ummu Kultsum tak henti-hentinya menangis atas kepergian sang ibunda, begitu juga dengan kedua putra Fatimah, Hasan dan Husain yang terlihat sangat sedih. Salah satu beban berat yang dialami Fatimah menjelang wafatnya adalah keempat putranya yang masih kecil. Namun ia harus memenuhi panggilan ilahi pada saat usianya 29 tahun, sedangkan anak-anaknya belum ada yang mencapai usia 10 tahun.