Ilustrasi Imam Ahmad bin Hanbal |
Biografi Imam Ahmad bin Hanbal
Ahmad memiliki kakek bernama Hanbal bin Hilal yang merupakan seorang walikota Kota Sarkhas pada era pemerintahan Kekhalifahan Bani Umayyah. Ayahnya Muhammad bin Hanbal turut serta dalam perjuangan perebutan Kekhalifahan dari tangan Bani Umayyah oleh Bani Abbasiyah. Ayahnya adalah seorang tentara Kekhalifahan Abbasiyah yang tinggal di Kota Merv. Ahmad dilahirkan ketika ibunya pindah ke Kota Baghdad. Sewaktu kecil, ayah Ahmad meninggal sehingga Ahmad hanya dibesarkan oleh ibunya. Sebenarnya banyak laki-laki yang datang untuk melamar ibunya namun ibunya menolak karena ingin memberikan perhatian penuh kepada Ahmad.
Ahmad menjalani hidup yang sederhana sejak kecil. Namun, kesederhanaan tersebut tidak membuatnya patah semangat dalam menuntut ilmu. Ahmad selalu menyempatkan waktu untuk belajar ilmu dari para ulama yang ada pada saat itu. Kota Baghdad ketika itu merupakan kota ilmu pengetahuan. Berbagai macam ilmu seperti sains dan ilmu agama dikembangkan di kota itu. Di kota itu banyak terdapat pakar dari bidang ilmu syariah, qiraat, tasawuf, bahasa, filsafat, dan lain-lain. Dengan tekad yang kuat dan dorongan dari keluarga, Ahmad mulai menekuni ilmu-ilmu agama terutama ilmu hadits. Guru pertama Ahmad adalah seorang murid dari Imam Abu Hanifah yang bernama Al Qadhi Abu Yusuf.
Perjalanan Menuntut Ilmu
Dalam mengajarkan ilmunya, Imam Ahmad lebih mengandalkan catatan dibandingkan hafalannya, meskipun orang-orang mengakui akan kekuatan hafalannya. Hal ini dilakukan Imam Ahmad karena banyaknya fatwa dan faham yang menyimpang ketika itu. Selain menekuni bidang ilmu hadits, Imam Ahmad juga menyampaikan pemikiran-pemikirannya dalam ajaran politik dan aqidah. Salah satu pendapatnya di bidang akidah adalah bahwa Allah adalah Al Qadim. Pendapatnya ini sangat bertentangan dengan ajaran Mu’tazilah yang menjadi Madzhab resmi negara ketika itu. Ajaran Mu’tazilah menekankan pada hal-hal yang bersifat rasional sehingga ketika itu orang-orang meyakini bahwa Al Qur’an adalah makhluk dan bukan ciptaan Allah. Pendapat akan kemakhlukan Al Qur’an ini ditentang oleh Imam Ahmad sehingga ia mendapat siksaan dan hukuman penjara pada masa pemberlakuan Mihnah di era pemerintahan Khalifah Al Makmun, Al Mu’tashim, dan Al Watsiq. Ketika Al Mutawakkil naik menjadi Khalifah, aturan Mihnah ini resmi dihapus.
Aturan Mihnah Terhadap Imam Ahmad bin Hanbal
Khalifah Al Makmun menerapkan aturan Mihnah (inkuisisi) bagi mereka yang menentang ajaran ini. Aturan inkuisisi ini diterapkan pada awal pemerintahan Khalifah Al Makmun tahun 218 Hijriyah. Banyak ulama yang kemudian menerima ajaran Mu’tazilah ini karena alasan untuk menghindari hukuman negara. Beberapa kalangan juga ada yang menentang dengan keras ajaran ini, salah satunya adalah Imam Ahmad bin Hanbal.
Penolakan Imam Ahmad bin Hanbal terhadap pendapat Khalqul Qur’an menyebabkan ia dipenjara dan disiksa dengan hukuman cambuk. Ia dicambuk di depan Khalifah dan para menterinya. Hukuman cambuk ini dilakukan selama era pemerintahan Khalifah Al Mu’tashim dan Al Watsiq. Hukuman cambuk yang diterima Imam Ahmad meninggalkan bekas di punggungnya. Menerapkan aturan Mihnah ini berakhir ketika tahta Kekhalifahan dijabat oleh Al Mutawakkil. Pada era pemerintahan Khalifah Al Watsiq, Imam Ahmad bin Hanbal dibuang dari Kota Baghdad. Khalifah Al Mutawakkil naik tahta Kekhalifahan Abbasiyah pada tahun 232 Hijriyah atau 864 Masehi. Ia secara resmi mencabut dekrit mengenai Khalqul Qur’an.