Daftar Isi [Tampilkan]
Husain bin Ali adalah putra kedua dari pasangan Ali bin Abi Thalib dengan Fatimah binti Muhammad sekaligus saudara dari Al Hasan bin Ali, cucu pertama Rasulullah Muhammad SAW. Husain bin Ali dilahirkan pada tanggal 5 bulan Sya’ban tahun 4 Hijriyah, sekitar satu tahun setelah lahirnya Hasan bin Ali. Rasulullah Saw pernah bersabda ketika kelahiran Husain bin Ali “Anak ini kelak akan dibunuh oleh golongan orang-orang yang murka”, ucapan Rasulullah tersebut terbukti setelah 56 tahun ketika Husain tewas dalam peristiwa Karbala. Husain bin Ali merupakan imam syi’ah ketiga setelah kematian saudaranya, Hasan bin Ali.
Sejarah Perang Karbala
Setelah wafatnya Khalifah Muawiyah bin Abi Sufyan, khalifah pertama Daulah Umayyah, tahta Kekhalifahan Umayyah dipegang oleh putra Muawiyah, yakni Yazid bin Muawiyah. Pewarisan tahta kepada Yazid bertentangan dengan perjanjian yang telah dilakukan oleh Muawiyah dengan Hasan bin Ali, yang menyatakan bahwa setelah pemerintahan Muawiyah, tahta Kekhalifahan harus diberikan kepada Husain bin Ali. Pada saat itu, kelompok Yazid memerintahkan Husain bin Ali untuk membaiat Yazid bin Muawiyah, namun Husain menolaknya dan pergi meninggalkan Madinah menuju ke Mekkah.
Ketika Penduduk Kufah di Irak mendengar sikap Husain terhadap Yazid bin Muawiyah, mereka langsung mengirim berbagai surat kepada Husain, ada lebih dari 500 surat yang diterima Husain. Inti dari isi surat itu ada 3 hal yakni, penduduk Kufah tidak membaiat Yazid, penduduk Kufah hanya mau taat jika Husein dan keluarga Ali yang menjadi khalifah, dan mengundang Husain untuk datang ke Kufah dan segera membai’at Husain bin Ali.
Untuk menyelidiki kebenaran berita ini, Husain bin Ali memerintahkan sepupunya, Muslim bin Aqil, untuk datang ke Kufah dan memeriksa keadaan sebenarnya yang ada di Kufah. Sesampainya Muslim bin Aqil di Kufah, ia singgah di kediaman Hani bin Urwah, dan ternyata telah banyak penduduk Kufah yang loyal dan membai’at Husain bin Ali melalui perantara Muslim bin Aqil, Muslim bin Aqil lalu mengirimkan surat kepada Husain bin Ali agar Husain segera datang ke Kufah karena semua telah disiapkan.
Berita tentang keloyalan penduduk Kufah terhadap Husain bin Ali dan telah membaiat Husain didengar oleh Khalifah Yazid bin Muawiyah. Wilayah Kufah saat itu diperintah oleh seorang gubernur sahabat Rasulullah, Nu’man bin Basyir RA, namun Nu’man tampaknya tidak begitu peduli dengan pembai’atan penduduk Kufah terhadap Husain bin Ali. Khalifah Yazid lalu menganti Nu’man bin Basyir dengan Ubaidillah bin Ziyad, yang kala itu sedang menjabat sebagai gubernur Bashrah, sehingga Ubaidillah bin Ziyad memegang kekuasaan di dua wilayah, yaitu Bashrah dan Kufah.
Ubaidillah menemui Hani bin Urwah dan menanyakan perihal penduduk Kufah yang membai’at Husain bin Ali, namun Hani bin Urwah tidak mau mengaku sehingga Ubaidillah bin Ziyad menjebloskan Hani bin Urwah ke dalam penjara. Mengetahui sikap Ubaidillah bin Ziyad terhadap Hani bin Urwah tersebut, Muslim bin Aqil bersama sekitar 4000 orang pembela Husain bin Ali datang mengepung istana Ubaidillah bin Ziyad. Peristiwa ini terjadi pada siang hari. Ubaidillah bin Ziyad merespon pengepungan Muslim bin Aqil tersebut dengan mengancam akan mendatangkan pasukan dari Negeri Syam, gertakan tersebut membuat takut para pembela Husain bin Ali sehingga mereka berkhianat. Orang-orang yang sebelumnya membela Husain bin Ali meninggalkan barisan sehingga hanya tersisa 30 orang saja yang bersama Muslim bin Aqil. Menjelang matahari terbenam pada hari itu, hanya tersisa muslim bin Aqil seorang diri sebagai pembela Husain.
Muslim bin Aqil pun ditangkap oleh Ubaidillah bin Ziyad dan dibunuh. Sebelum dieksekusi, Muslim bin Aqil berwasiat kepada Umar bin Sa’ad bin Abi Waqqash untuk mengirim surat kepada Husain bin Ali. Isi surat Muslim bin Aqil kepada Husain bin Ali adalah “Pergilah, pulanglah kepada keluargamu ! jangan engkau tertipu dengan penduduk Kufah. Sesungguhnya penduduk Kufah telah berkhianat kepadamu dan juga kepadaku. Orang-orang pendusta itu tidak memiliki akal”. Setelah itu, Muslim bin Aqil dibunuh pada tanggal 9 Dzulhijjah, hari Arafah.
Sementara itu, Husain bin Ali berangkat dari Mekkah ke Kufah pada tanggal 8 Dzulhijjah. Banyak sahabat Nabi Saw. yang menasehatinya agar tidak pergi ke Kufah, salah satunya adalah Abdullah bin Umar. Husain tetap enggan membatalkan kepergiannya. Abdullah bin Umar pun memeluknya seraya menangis dan mengatakan “Aku titipkan engkau kepada Allah agar tidak dibunuh”. Sahabat yang lain, Abu Sa'id Al Khudri RA juga memperingatkan Husain agar tidak pergi.
Husain bin Ali menginjakkan kaki di daerah karbala bersama 72 orang yang mendampinginya. Kemudian tibalah 4000 pasukan yang dikirim Ubaidillah bin Ziyad dibawah pimpinan Umar bin Saad. Husain bertanya “Apa nama tempat ini?” orang-orang menjawab “Ini adalah daerah Karbala”. Kemudian Husain menanggapi, “Karbala : Karb wa Bala”. Karb artinya bencana dan Bala artinya musibah.
Melihat pasukan dalam jumlah besar, Husain bin Ali menyadari bahwa tidak ada peluang untuk pergi, lalu dia menawarkan 3 hal, “Aku ada 3 pilihan, kalian mengawalku untuk pulang, atau kalian biarkan aku menghadap Yazid di Syam dan membaiatnya, atau aku pergi ke wilayah perbatasan dan ikut berperang dalam rangka berjihad melawan orang kafir”.
Ubaidilah bin Ziyad menyetujui tawaran Husain. Namun tiba-tiba sosok jahat Syamr bin Dzil Jausyan memprotes “Jangan kabulkan tawarannya, sampai dia menjadi tawananmu, wahai Ubaid”. Syamr sendiri masih termasuk kerabat dekat Ubaidillah.
Mendengar usulan ini, Ubaidillah merasa mendapat dukungan. Namun Husain menolak untuk menjadi tawanan Ubaidillah. Maka mulailah terjadi ketegangan antara pasukan Husain yang berjumlah 72 dengan pasukan Ubaidillah yang berjumlah 4000 orang. Husain pun berceramah mengingatkan status dirinya sebagai keturunan Rasulullah Saw. Hingga sekitar 30 orang pasukan Irak dipimpin oleh Al Hurr bin Yazid At Tamimi membelot dan bergabung dengan Husain.
Peperangan yang sangat tidak berimbang tersebut menewaskan semua orang yang mendukung Husain hingga tersisa Husain seorang diri. Orang-orang Kufah merasa takut dan segan untuk membunuh Husain, masih tersisa rasa hormat mereka terhadap darah dari keluarga Nabi Muhammad Saw. Tiba-tiba datang Syamr bin Dzil Jausyan meneriakkan “Apa yang kalian tunggu, segera serang dia”. Syamr pun menembakkan panah sehingga mengenai Husain, kemudian ditambah dengan tombak Sinan bin Anas yang mengenai dada Husain, beliau pun terjatuh dan terbunuh sebagai syahid. Kejadian berdarah tersebut terjadi pada hari Jum’at tanggal 10 Muharram, hari Asyura.
Tragedi Karbala menyisakan luka yang mendalam di hati para pengikut Ali dan keluarga Nabi Muhammad Saw. Hari Asyura dianggap sebagai momen bersejarah yang terus diperingati bahkan diagungkan. Mereka meratapi peristiwa tersebut dengan cara berkabung, menangis, dan melukai anggota badan sebagai bentuk kesedihan mendalam dan turut merasakan penderitaan Ahlul Bait.
Referensi :
[1] Khairuddin., A. 2015. Asyura : Antara Doktrin, Historis dan Antropologis Perspektif Dakwah Pencerahan. Jurnal Al Hiwar. 3 (5) : 4-6.
[2] www.kisahmuslim.com